1. Bangsa Indonesia Bersikap Pasif
Teori ini memberi pengertian bahwa bangsa Indonesia hanya sekadar menerima
kebudayaan India yang datang ke Indonesia. Pendapat yang mendukung teori ini
cenderung melihat bahwa telah terjadi kolonisasi, baik secara langsung maupun
tidak langsung dari bangsa India terhadap bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
diduga kebudayaan India yang berkembang di Indonesia mempunyai sifat dan bentuk
seperti di negeri asal.
2. Bangsa Indonesia Bersikap Aktif
Teori ini memberi pengertian bahwa bangsa Indonesia sendiri yang berperan
aktif mencari tahu dan mengembangkan kebudayaan India. Hal itu dimungkinkan
karena kemampuan bangsa Indonesia yang dapat mengarungi samudera dengan perahu
sederhana dapat mencapai India. Bangsa Indonesia tertarik dengan keteraturan
dan keunggulan peradaban India sehingga berkeinginan menirunya. Salah satu
caranya adalah bangsa Indonesia mengundang para brahmana India ke Indonesia
untuk memperkenalkan kebudayaannya.
Para ahli sejarah juga telah membuat beberapa kemungkinan tentang para
pembawa dan pengembang kebudayaan India di Indonesia. Terdapat tiga teori
tentang pembawa dan pengimbang kebudayaan India di Indonesia, yaitu :
1. Teori Ksatria (Pendapat F.D.K. Bosch)
Teori ksatria menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke Indonesia
disebabkan adanya proses kolonisasi di wilayah India oleh orang-orang India.
Raja-raja beserta prajurit India datang menyerang dan mengalahkan
kelompok- kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Wilayah koloni-koloni itulah
yang menjadi pusat penyebaran kebudayaan India.
2. Teori Waisya (Pendapat N.J. Krom)
Teori waisya menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke Indonesia dibawa
dan disebarkan oleh para pedagang India yang singgah di bandar-bandar
Indonesia. Para pedagang India yang singgah di bandar-bandar Indonesia sambil
menunggu arah angin yang tepat untuk melanjutkan perjalanan ada yang menetap di
Indonesia. Mereka ada yang menetap sementara dan ada pula yang menetap untuk
selamanya. Mereka menetap selamanya karena telah menikah dengan wanita
Indonesia. Dari perkawinan inilah makin memudahkan proses penyebaran kebudayaan
India. Proses penyebaran kebudayaan juga makin lancar apabila para pedagang
India itu dekat dengan penguasa lokal.
3. Teori Brahmana (Pendapat J.C. van Leur)
Teori brahmana menyatakan bahwa masuknya kebudayaan India ke Indonesia
dibawa oleh para brahmana. Berdasarkan teori ini, para brahmana India itu
datang ke Indonesia atas undangan para penguasa lokal di Indonesia. Dengan
demikian, kebudayaan India yang berkembang di Indonesia adalah budaya golongan
brahmana. Dari beberapa teori pembawa pengaruh kebudayaan India ke Indonesia,
teori brahmana agaknya yang memiliki dasar kuat. Alasan yang dikemukakan para
pendukung teori brahmana dalam menyangkal teori lainnya, antara lain sebagai
berikut:
a. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa para prajurit
dan ksatria India mengadakan penguasaan wilayah (kolonisasi) di Indonesia.
Sumber tertulis tentang proses kolonisasi, baik dari India maupun Indonesia
tidak ditemukan. Selain itu, hal-hal yang selalu mengikuti proses kolonisasi
berupa pemindahan segala unsur kemasyarakatan negeri induk (penjajah) tidak
ditemui. Kalaupun ada di wilayah Nusantara yang ditempati oleh kelompok
masyarakat India bukanlah proses kolonisasi. Namun, mereka adalah masyarakat
biasa yang kebetulan bermata pencaharian sama sebagai pedagang. Tempat seperti
itu sekarang masih dapat ditemui di bagian wilayah barat Indonesia yang disebut
Kampung Keling.
b. Kemungkinan pembawa kebudayaan India ke Indonesia
adalah para pedagang sesungguhnya juga kurang tepat. Alasannya, pedagang yang
datang ke Indonesia adalah para pedagang keliling yang berasal dari kalangan
biasa. Padahal, sifat kebudayaan India yang berkembang di Indonesia adalah
kebudayaan tinggi. Alasan lainnya, hubungan pedagang India dengan penguasa
lokal di Nusantara hanyalah masalah perdagangan. Dengan demikian, mustahil para
pedagang tersebut mempunyai pandangan tentang tata negara dan hal keagamaan.
c. Pengaruh keagamaan dari India yang datang ke
Indonesia salah satunya adalah agama Hindu. Padahal, agama Hindu pada awalnya
bukanlah agama untuk umum. Artinya, pendalaman agama tersebut hanya dapat
dilakukan oleh kaum brahmana. Merekalah yang dibenarkan mendalami kitab-kitab
suci. Pada praktiknya, di dalam agama Hindu lahir beberapa aliran. Adapun sekte
agama Hindu yang besar pengaruhnya di Jawa dan Bali adalah Saiya- Siddharta.
Pada prinsipnya sekte Saiva-Siddharta bersifat esoteris. Untuk mencapai
tingkatan brahmana guru, para brahmana biasa mengalami ujian berat dan
bertahun-tahun lamanya. Ketika brahmana biasa ditasbihkan menjadi brahmana
guru, ia dianggap telah mampu merubah air menjadi amerta. Brahmana demikianlah
yang datang ke Indonesia atas undangan para penguasa lokal. Mereka diminta
melakukan upacara khusus yang disebut Vratyastoma. Pada dasarnya kesaktian para
brahmana inilah yang menyebabkan mereka didatangkan ke Indonesia. Mereka
kemudian mendapat kedudukan terhormat di kalangan penguasa Indonesia dan
menjadi inti golongan brahmana Indonesia yang berkembang kemudian.
Bersamaan dengan masuknya agama Hindu di Indonesia, masuk pula agama dan
kebudayaan Buddha. Berita tentang masuknya agama Buddha di Indonesia bersumber
dari keterangan seorang Cina bernama Fa Hien. Dari India, Fa Hien berlayar
pulang ke Cina. Pada saat melewati Nusantara, kapalnya mengalami kerusakan
akibat angin topan. Fa Hien terpaksa singgah di Ye-po-ti (Jawadwipa). Fa Hien
mengatakan bahwa di Ye-po-ti banyak dijumpai berhala dan kaum brahmana,
sedangkan agama Buddha hampir tidak ada. Hal itu berarti pada awal abad ke-5
agama Buddha belum masuk ke Jawa.
Pada abad ke-7 di Indonesia terdapat prasasti bersifat Buddha yang dibuat
oleh raja-raja Sriwijaya. Hal itu menunjukkan bahwa pada abad ke-7 M agama
Buddha masuk di Indonesia. Mula-mula yang berkembang adalah aliran Buddha
Hinayana. Karena tidak cocok dengan kehidupan perdagangan dan paham animisme
yang berkembang di Sriwijaya akhirnya berkembang aliran Buddha Mahayana.
Masuknya kebudayaan India menjadikan bangsa Indonesia mulai mengenal
tulisan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dengan demikian, Bangsa
Indonesia mulai memasuki zaman Sejarah, yaitu suatu periode atau pembabakan
waktu ketika manusia mulai mengenal tulisan dan meninggalkan keterangan
tertulis yang sezaman. Peninggalan tertulis itu dapat berupa prasasti (tulisan
yang dipahatkan pada batu), tulisan pada daun lontar, ataupun dokumen lainnya.
Setelah bangsa Indonesia mengenal huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta,
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat serta kebudayaannya makin cepat. Struktur
masyarakat mulai berkembang lebih teratur dan terorganisasi.
Masyarakat yang sebelumnya hanya merupakan kelompok-kelompok sosial yang
dipimpin oleh kepala suku mulai mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk
kerajaan yang bercorak Hindu ataupun Buddha.
Agama Hindu pada awal perkembangannya di Indonesia membawa pengaruh besar
dalam sistem kemasyarakatannya. Sistem kasta yang sebenarnya bermakna pada
pembagian tugas dan kewajiban pada setiap orang yang berlaku di dalam ajaran
Hindu di India juga berkembang di Indonesia. Dengan sistem kasta menyebabkan
masyarakat Hindu seakan-akan saling hidup terpisah dan membentuk kelompok
sosial sendiri. Hal itu menyebabkan adanya jurang pemisah yang lebar antara
kasta tinggi (kasta Brahmana dan kasta Ksatria) dan kasta rendah (kasta Waisya
dan kasta Sudra). Stratifikasi yang mencolok itu menyebabkan kasta Brahmana
memiliki peranan dan pengaruh paling besar dalam tata kehidupan masyarakat,
termasuk kepada raja sekalipun. Kaum brahmana jugalah yang berhak membaca dan mempelajari
kitab suci agama Hindu (Weda) serta yang mengatur upacara keagamaan. Oleh
karena itu, kaum brahmana mendapat kedudukan yang tinggi di dalam setiap
kerajaan Hindu (sebagai penasihat raja).
Perlu diingat bahwa pelaksanaan sistem kasta itu hanya berlaku pada saat
agama dan kebudayaan Hindu baru masuk dan berkembang beberapa saat di
Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, sistem kasta itu hanya dijadikan
ajaran dalam agama Hindu di Indonesia saat ini, tetapi tidak dilaksanakan
secara mutlak. Setiap pemeluk agama Hindu mempunyai tugas dan hak yang sama
dalam beribadah dan bermasyarakat.